GAYA HIDUP SLOW LIVING: JUST TRENDY, OR NEUROLOGICALLY NECESSARY?

 

Belakangan ini, gaya hidup slow living jadi salah satu tren yang naik daun. Di media sosial, kita bisa dengan mudah menemukan video orang-orang yang terlihat damai menjalani hari: bangun pagi tanpa alarm, menyeduh kopi dengan perlahan, membaca buku sambil mendengarkan suara hujan, atau sekadar berjalan kaki menikmati udara sore. Segalanya tampak tenang, pelan, penuh kesadaran. Di tengah kehidupan yang cepat dan penuh tuntutan, gaya hidup seperti itu terlihat seperti mimpi kecil atau mungkin, pelarian sementara dari hiruk pikuk dunia.

Tapi sebenarnya, slow living itu hanya tren visual atau memang kebutuhan biologis manusia yang selama ini kita abaikan?

Kalau kita kembali ke dasar, manusia bukan makhluk yang dirancang untuk hidup dalam kecepatan tinggi setiap hari. Otak kita punya batas. Sistem saraf kita pun punya kapasitas maksimal. Dalam keseharian, sistem saraf terbagi menjadi dua: simpatik (yang aktif saat kita “on the go”, tertekan, atau menghadapi tantangan), dan parasimpatik (yang aktif saat kita tenang, merasa aman, dan rileks). Masalahnya, dalam ritme hidup modern, kita terlalu sering terjebak dalam mode simpatik terus waspada, terus berlari, terus merespons.

Kita bangun dengan terburu-buru, sarapan sambil ngecek email, bekerja dikejar deadline, pulang masih balas pesan grup kerja, lalu sebelum tidur, masih sempat scrolling TikTok berjam-jam. Tubuh memang diam, tapi pikiran terus berlari. Kondisi ini perlahan membuat sistem saraf kita jenuh, kelelahan, dan akhirnya menunjukkan tanda-tanda stres yang terselubung: cepat marah, sulit fokus, tidur tak nyenyak, bahkan perasaan hampa tanpa sebab.

Slow living, jika dijalani dengan makna yang tepat, bisa menjadi “rem” yang membantu tubuh dan otak kembali pada ritme aslinya. Bukan berarti hidup lambat tanpa produktivitas, tapi justru produktif dengan kesadaran penuh. Melakukan satu hal dalam satu waktu. Tidak terburu-buru menyelesaikan segalanya, melainkan menikmati proses dan kehadiran.

Penelitian dalam bidang neuroscience menunjukkan bahwa ketika kita memperlambat ritme hidup dan mulai hadir sepenuhnya dalam aktivitas yang sederhana misalnya makan tanpa distraksi, berjalan tanpa musik, atau bernapas secara sadar bagian otak yang bertanggung jawab atas empati, pengendalian diri, dan kesadaran diri (prefrontal cortex) bekerja lebih optimal. Saat itu, sistem saraf parasimpatik aktif, menurunkan detak jantung, menyeimbangkan hormon kortisol, dan mengaktifkan sistem “rest and digest” yang mendukung kesehatan jangka panjang.

Dengan kata lain, slow living bukan cuma “gaya hidup cantik” untuk dipamerkan di media sosial, tapi justru pilihan biologis yang penting untuk menjaga fungsi dasar manusia: berpikir jernih, merasa cukup, dan terhubung.

Tapi tentu, menerapkan slow living bukan soal pindah ke desa, atau hidup tanpa target. Ini soal mengatur ulang ritme harian kita. Soal memberi ruang untuk tidak melakukan apa-apa tanpa merasa bersalah. Soal membiarkan pagi berjalan pelan, memberi jeda di antara pekerjaan, tidak terus-menerus menyibukkan diri hanya karena takut merasa hampa. Kadang, yang membuat kita lelah bukan aktivitasnya, tapi cara kita terburu-buru menjalaninya.

Dan justru dalam perlambatan itu, kita bisa menemukan kembali hal-hal yang selama ini hilang: rasa syukur atas yang sederhana, perhatian penuh pada orang-orang di sekitar, bahkan ide-ide yang selama ini tertutup bisingnya dunia.

Slow living mengajarkan kita bahwa hidup bukan tentang siapa yang paling cepat, paling banyak, atau paling sibuk. Tapi tentang siapa yang paling hadir. Paling sadar. Dan paling mampu melihat ke dalam, meski dunia terus bergerak ke luar.

Jadi, apakah slow living cuma tren? Mungkin awalnya iya. Tapi kalau kita gali lebih dalam, justru di situlah letak kebutuhannya. Di dunia yang semakin cepat, melambat bukan kelemahan—itu bentuk kekuatan. Bentuk perlawanan halus untuk tetap waras, tetap utuh, dan tetap manusia.

Komentar